Sikap Pelan-pelan (Tidak Tergesa-gesa)

Di antara sikap yang terpuji adalah (الأَنَاةُ) atau pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa.

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan terpujinya sikap ini atau motivasi untuk memilikinya, diantaranya adalah firman Allah tentang kisah Nabi Yusuf ketika raja meminta beliau untuk hadir setelah beliau bisa menafsirkan mimpi sang raja:

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ

“Dan raja berkata: ‘Bawalah dia (Yusuf) kepadaku.’ Ketika utusan itu datang kepadanya, dia (Yusuf) berkata, ‘Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana perihal perempuan-perempuan yang telah melukai tangannya. Sungguh, Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.’” (Yusuf: 50)

Berkata Ibnu ‘Athiyyah berkaitan dengan ayat ini:

“Perbuatan Nabi Yusuf ini merupakan bentuk sikap pelan-pelan, sabar dan usaha membersihkan diri dari tuduhan, dimana beliau –sebagaimana diriwayatkan- khawatir keluar (dari penjara) dan mendapatkan kedudukan dari raja dan raja membiarkan kesalahan beliau karena sudah dimaafkan lantas orang-orang senantiasa menganggapnya memang demikian dan mereka berkata: ‘Orang ini (Yusuf) adalah orang yang dahulu merayu istri tuannya’. Maka Nabi Yusuf ingin bebasnya beliau dari tuduhan itu menjadi jelas dan terakuinya kebersihan dan kebaikan beliau.”(1)

Diantara dalil juga untuk sikap ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Sahabat al-Asyaj ‘Abdul Qais:

 إنَّ فيك خَصلتَينِ يحِبُّهما اللهُ: الحِلمُ، والأناةُ

“Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat dua sifat perangai yang dicintai oleh Allah: (yaitu) sabar dan pelan-pelan.”(2)

Berkaitan dengan sikap pelan-pelan (tidak tergesa-gesa), juga terdapat perkataan-perkataan para ulama yang menunjukkan akan terpujinya sikap ini. Imam Malik berkata:

كَانَ يُقَالُ: التَّأَنِّي مِنَ اللهِ، وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَمَا عَجِلَ امْرُؤٌ فَأَصَابَ، واتَّأَدَ آَخَرُ فَأَخَطَأَ إِلَّا كَانَ الَّذِي اتَّأَدَ أَصْوَبَ رَأْيًا، وَلَا عَجِلَ امْرُؤٌ فَأَخْطَأَ، وَأتَّأَدَ آخَرُ فَأَخْطَأَ، إِلَّا كَانَ الَّذِي اتَّأَدَ أَيْسَرَ خَطَأً

Dahulu dikatakan: Pelan-pelan itu berasal dari Allah dan tergesa-gesa itu berasal dari setan. Tidaklah seseorang tergesa-gesa lalu ia benar dan orang lain pelan-pelan lalu ia keliru, melainkan orang lain yang pelan-pelan tersebut lebih benar pandangannya. Dan tidaklah seseorang tergesa-gesa lalu keliru dan orang lain pelan-pelan lalu keliru, melainkan orang lain yang pelan-pelan tersebut kekeliruannya lebih ringan.”(3)

Abû ‘Utsman bin al-Haddâd juga berkata:

مَنْ تَأَنَّى وَتَثَبَّتَ تَهَيَّأَ لَهُ مِنَ الصَّوَابِ مَا لَا يَتَهَيَّأُ لِصَاحِبِ الْبَدِيهَةِ

Barangsiapa yang pelan-pelan (tidak tergesa-gesa) dan perhitungan maka peluang kebenaran ia dapatkan tidak seperti pemilik sikap tanpa perhitungan.”(4)

Dari apa yang telah disampaikan di atas bisa diketahui terpujinya sikap pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Akan tetapi, sikap pelan-pelan ini tidak berlaku dalam semua perkara. Di sana terdapat perkara-perkara dan momen-momen yang dituntut seseorang untuk bersegera, seperti bersegera dalam memanfaatkan waktu dan tidak menunda-nundanya, bersegera untuk berbuka puasa, bersegera menolong orang yang kesulitan, dan tidak menunda menjelaskan sesuatu di waktu penjelasan itu dibutuhkan.

Sikap pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa memiliki manfaat dan akibat yang baik, diantaranya:

  1. Sebab mendapatkan cinta dan ridho Allah sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah kepada Sahabat al-Asyaj ‘Abdul Qais yang telah disebutkan di atas.
  2. Mampu untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil serta membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.
  3. Terjaga dari akhlak yang tercela dimana meninggalkan sikap pelan-pelan ini mengantarkan kepada sikap tergesa-gesa, nekat, dan tidak perhitungan.

Demikianlah sedikit ulasan tentang salah satu sifat terpuji, yaitu pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengaplikasikannya pada tempatnya dan Allah jadikan kita termasuk hamba-hamba yang dicintaiNya.

Catatan Kaki:

(1) Lihat al-Muharrar al-Wajîz Fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz (3/252).

(2) Diriwayatkan oleh Muslim (17).

(3) Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy dalam al-Madkhal Ilâ as-Sunan al-Kubrâ (817).

(4) Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr (2/1127).

Artikel ini merujuk kepada: https://dorar.net/alakhlaq/490/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%A3%D9%86%D9%8A-%28%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%86%D8%A7%D8%A9%29